Pagi mulai menyapa indahnya hari. Burung-burung
menari di udara, menyanyikan nada-nada indah penuh makna. Di depan rumah,
terdapat taman bunga yang indah dan menyejukkan mata saat dipandang. Hamparan
bunga berwarna-warni menambah indahnya pagi. Serangga hanyalah hewan kecil dan
rapuh yang hinggap di setiap bunga, tak ubahnya seperti pengganggu kecil yang tak
pernah lelah menebarkan kebencian disaat ada kebahagiaan.
Terlihat juga disana gadis kecil yang sedang tertawa
riang. Bermain. Bercanda. Melepaskan semua tawa dan melupakan semua duka. Dia
terus bermain, dan bermain. Sepanjang hari sampai larut malam. Tak ada yang
pernah memanggil namanya. Tak ada yang pernah mengusik kebahagiaannya. Dia
terus tertawa. Tapi dengan siapa dia
bermain?. Tak pernah ada yang tahu. Dia disana sejak tiga hari yang lalu.
Dia terus bermain. Sendirian. Entah siapa yang menemani.
Dalam kesendiriannya itu, dia masih saja bisa
tertawa. Saat aku mulai mendekatinya, dia membisikkan sesuatu padaku. “Jangan
ganggu teman ku, ya. Dia tidak suka diganggu orang lain yang belum ia kenal”.
Saat kata itu terucap dari bibir manis gadis itu, jantung ku terus berdegup
dengan kencang. Mungkin ini penyebab tak banyak orang yang berani mendekatinya,
bahkan memanggil namanya. Tak ada yang tau persis nama gadis kecil itu.
Mulai hari itu aku mulai
mengamati gerak-geriknya.
Memahami apa yang dia lakukan. Sampai pada saat aku berani mendekatinya, dengan
membawa sebungkus nasi yang ku bawa dari rumah. “Ini nasinya dimakan, biar kamu
tidak kelaparan. Cuma ada satu sih, tapi nanti kalau kamu mau lagi bisa aku
ambil lagi di rumah”, kata ku yang saat itu duduk disampingnya. “Nasi buat
teman ku mana?”, tanyanya yang membuat bulu halus disekujur tubuh ku merinding
seketika.”Teman? Teman yang mana?”, tanya ku ketakutan. “Iya temanku. Sudah
lama sekali kita berteman. Dia sekarang duduk disamping kamu, kelihatannya dia suka
sama kamu. Kalau bisa, setiap sore datang kesini, ya. Ajak dia main juga.”. “I-Iya”,
jawab ku semakin ketakutan.
Kini setiap sore aku datang untuknya. Membawakan
nasi untuknya, dan “teman” yang selalu Ia bicarakan. Menemaninya. Berusaha
menjadi sahabat terbaik untuknya. Sampai pada akhirnya, Ayah selalu melihat ku
bermain dengan gadis itu. Perlahan Ayah mulai mendekat dan mulai membuka
pembicaraan, “Nak, orangtua kamu kemana?”. “Orangtua? Saya tidak punya
orangtua, saya hanya bersama teman saya ini”, kata gadis itu seraya menunjuk ke
arah bangku kosong yang ada disebelahnya. “Kamu mau tidak kalau jadi anak
angkat saya?”, pertanyaan Ayah yang membuat ku terkejut saat mendengarnya.
“Sebentar ya, saya mau berbicara dulu dengan teman saya”, ucap gadis kecil itu.
Setelah menunggu beberapa menit, gadis itu mulai menjawab, “Iya saya mau, Pak,
tapi jangan tinggalkan teman saya ini, ya”. “Iya. Kalau begitu ayo sekarang
kita pulang ke rumah, Isabell”. Iya, Isabell, itu nama yang mungkin cocok
untuknya. Mulai sekarang dia akan tinggal bersama keluarga ku, dengan begini
aku lebih mudah mengawasinya dan tak khawatir lagi jika dia kedinginan karena
hujan di malam hari.
*****
Hari demi hari telah berganti. Bulan demi bulan
telah terlewati. Kini tepat tujuh bulan setelah kedatangan Isabell di rumah ini.
Semenjak Ia pertama kali datang di rumah ini, perkembangannya sangat pesat
sekali. Kali ini dia sudah bisa berhitung dan menulis. Satu hal yang belum ku
mengerti sekarang, yaitu teman kelabu yang selalu dia ceritakan.
Semenjak dua bulan yang lalu, tepatnya saat Isabell
mulai masuk ke Sekolah Dasar, banyak hal aneh telah terjadi. Seperti kehilangan
barang di dalam kelas, maupun ada gangguan kecil entah datangnya darimana. Saat
aku bertanya pada Isabell, dia menjawab, “Itu teman ku, Kak. Dia mengganggu
anak-anak yang nakal”. Terbesit dalam pikiranku, Sebenarnya siapa teman Isabell? Apa yang sebenarnya dia inginkan?.
Ada hal aneh yang selama ini dia lakukan, yaitu
mengendus setiap barang ataupun benda yang dia pegang. Saat disuruh membaca,
dia hanya duduk terdiam di kursinya seakan tak mau membaca tulisan dihadapannya.
Memang, saat pertama kali aku bertemu dengannya sampai sekarang, dia tak pernah
sekalipun membaca buku-buku yang tertata rapi dikamarnya. Ia hanya sesekali
membuka dan kemudian menutupnya kembali.
Akhir-akhir ini Isabell sering sekali mengatakan hal
yang aneh. Seperti kematian. Dia selalu membicarakan hal itu dimanapun. Hal
yang tidak wajar terjadi pada anak seumuran dia. Sebelum hal ini menjadi
semakin buruk, aku mencoba melacak siapa sebenarnya gadis kecil yang menjadi
adik ku ini. Isabell. Aku mulai melacak dari tulisan yang selalu ia tulis di
kamarnya.
“Mentari.
Jakarta, 3 Oktober 1990.”
*****
Sudah tiga bulan aku mencari informasi tentang siapa
Isabell sebenarnya. Rahasia demi rahasia mulai terungkap ke permukaan. Seiring
berjalannya waktu, tubuh Isabell semakin lemah. Dia sering muntah darah. Tidak
hanya itu saja, kemarin dia mengatakan sesuatu pada ku, “Kak, besok jangan
khawatir,ya. Besok aku tenang disana, teman ku sudah memberitahuku kapan aku
harus pergi, jadi besok aku dijemput kemudian tak akan kembali lagi”. Kata-kata
itu membuat merinding ketakutan. Awalnya ku kira itu hanya sebuah candaan yang
biasa ia lakukan, tapi setelah menatap matanya ku kira hal itu akan benar
terjadi.
Aku terus berusaha mencari dan mencari siapa
sebenarnya Isabell, sebelum hal yang dia katakan itu terjadi. Langkah kaki ku
tak akan pernah lelah sebelum semuanya lengkap. Sampai pada akhirnya.... Semua
menangis. Semua mengeluarkan air mata kesedihan yang terus mengalir. Langkah ku
terhenti saat aku hanya bisa terdiam di pintu depan rumah, memandang jelas
keranda kematian yang selalu membawa kesedihan. Setelah aku mencari semuanya,
mungkin inilah titik terakhir pencarian ku.
Disini terbaring
Bunga Tiara Magenta. Gadis kecil yang mengidap penyakit kanker sejak lahir, dan
buta seumur hidup. Gadis ini ditelantarkan kedua orangtuanya dan diasuh oleh
Yayasan Mentari pada tanggal 3 Oktober 1990. Gadis ini pernah dinyatakan gila
setelah membunuh temannya sendiri. Kini Ia hidup tenang selamanya di pangkuan
Sang Maha Kuasa. Jakata, 20 November 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar