Bab 3 : Tak Seperti Seharusnya
Pagi mulai
menyapa. Embun pagi masih melekat di dedaunan setelah hujan semalam. Air juga
masih membasahi jendela kamar Rendy. Kamar yang tidak memiliki pendingin
ruangan, tertulis AC Milan di pintu kamarnya dan poster tentang AC Milan. Pagi
ini, tidak ada kegiatan sama sekali di rumah. Rendy masih memeluk erat gulingnya
karena masih lelah dalam perjalanan pulang dari Cuban Rondo semalam. Aurel?. Pagi ini langkah kakinya tidak
terdengar di setiap sudut ruangan, hanya keheningan. Begitu juga dengan Mami.
Jam sudah
menunjukkan pukul delapan pagi. Masih tidak ada siapa-siapa di rumah. Hanya
Rendy. Rendy mulai terbangun saat handphone yang ada di sebelahnya mulai
bergetar dan mengeluarkan suara kencang. Dengan malas ia mengambil hpnya.
Bertuliskan ‘Dita’. Nama yang jelas tidak asing baginya. Dia bingung apa yang
harus ia lakukan, otak dan kata hatinya saling bertentangan. Antara tidur dan
menyapa orang yang ia cintai itu.
Sang matahari
mulai tergelencir dari timur ke barat. Semakin menampakkan cahayanya yang
sangat terang-benerang. Daritadi Rendy hanya menempelkan kepalanya dengan
bantal yang lembut. Dia masih memikirkan kata yang harus ia jawab saat
berkomunikasi dengan Dita tadi pagi. “Nanti siang kita keluar, yuk? Aku males
nih dirumah sendiri.”, itu yang di ucapkan Dita. Dengan setengar sadar, Rendy
meng-iya-kan apa yang dikatakan Dita tadi. Ia sangat kebingunan.
Beberapa menit
kemudian Aurel dan Mami datang mengenakan pakaian olahraga. Mungkin karena
mereka teralu dekat, mereka saling berebut oksigen untuk dihirup. Nafas mereka
terdengar sekali. Jantung mereka terpacu lebih cepat dari biasanya. Otot-otot
yang biasanya kuat menyangga berat badan, kini menjadi layu. Mereka bahkan
susah untuk berdiri tegak. Apa yang
sebenarnya terjadi?. Tadi Dita, sekarang Aurel dan Mami. Sangat memilukan.
“Habis dari mana
nih, Rel?”, ucap Rendy penuh kebingungan
“Ha-ha-habis
dari..... habis dari olahraga pagi”, jawab Aurel pelan dan terbata-bata.
“Tolongin Mami, Ren”
“Oh iya. Sini
Mami saya antar ke kamar aja, ya?” tanya Rendy sambil menggendong Mami
dipundaknya. “Mami lebih baik istirahat dulu, jangan capek-capek, Mam. Inget
umur.”
“Iya, nak. Maaf
ya ngerepotin kamu terus.”, ucap Mami perlahan, nafasnya masih terdengar lebih
kencang dari biasanya.
Hari ini sangat
memilukan bagi Rendy. Pertama, Dita dengan kengininannya mengajak Rendy keluar.
Kedua, keadaan Mami yang terlihat mengkhawatirkan. Ia masih bingung memutuskan
apa yang harus ia lakukan. Rendy tidak ingin mengecewakan keduanya. Dita adalah
wanita yang di idam-idamkan Rendy sejak awal masuk kuliah. Mami adalah orang
terkasih yang selalu menemaninya sejak awal kedatangannya di Surabaya.
Aurel mulai
mendekati Rendy yang terlihat murung dan kebingungan. “Ren, kmu kenapa?.”, ucap
Aurel, nafasnya mulai teratur dan jantungnya mulai berdegup seperti biasanya. “Emm...
Gak apa-apa kok, Rel.”, senyum manis mengembang dibibirnya. “Udah jangan bohong
deh, coba jelasin aja gak apa-apa kok”, ucap Aurel lagi. “Jadi gini.....”,
Rendy menjelaskan semuanya secara panjang lebar kepada Aurel. Semuanya sekarang
menjadi lebih jelas, tanpa ada rahasia lagi diantara mereka. Rendy juga merasa
lega telah menceritakannya.
Pintu kamar
ruangan Mami perlahan terbuka. Mami yang tadinya kelelahan dengan nafasnya yang
tersendak-sendak, kini mulai berjalan kerluar dari kamarnya. Mungkin karena
telah mendengar pembicaraan Aurel dan Rendy. Mami seakan mengerti apa yang
dirasakan Rendy. Beliau kemudian mengijinkan
Rendy untuk pergi bersama perempuan itu. Dita.
*****
Siang ini awan
gelap bergelantungan di atas kota Surabaya. Mungkin akan turun hujan. Tetapi
hal ini tidak menyurutkan niat Rendy untuk bertemu dengan Dita. Beberapa menit
yang lalu Rendy menelfon Dita untuk meyetujui permintaannya tadi. Kemudian Dita
menunjukkan tempatnya untuk bertemu dengan Rendy.
Rendy mulai
menyusuri keramian jalan di kota Surabaya dengan motor bututnya itu, sepeda
motor lama yang dimodifikasi kembali oleh Rendy. Rendy mulai memperlambat laju
motornya saat menyusuri jalan W.R Supratman. Bertuliskan “Black Cafe” di ujung
jalan. Rendy mulai memakirkan sepeda motornya di dekat kafe. Dia terus
berjalan, berjalan dan berjalan menyusuri kafe untuk bertemu dengan Dita.
Tangan yang tadinya santai, kini menjadi tegang dan mengepal seperti batu. Otak
yang tadinya hanya berisi Dita, kini mulai menghilang. Badan yang tadinya
tegap, kini menjadi layu dan tak bersemangat. Ini semua karena Dia!. Hatinya terus berteriak dan tak percaya
dengan apa yang dilihatnya dari kejauhan. Itu Dita. Bukan hanya Dita saja, tapi
ada seorang pria mengenakan baju berwarna hitam dan berkaca mata. Pandangan
mereka saling bertemu pada satu titik yang romantis dengan tangan yang saling
menggenggam dengan erat. Rendy tak bisa berkata lagi. Hatinya kini terluka
sangat dalam. Kata ‘cinta’ seakan menghilang dari pikirannya yang telah
tersiksa dan tersakiti.
Kenapa? Kenapa harus seperti ini? Sudah
cukup !! Muak !!
*****
Malam ini hujan
turun kembali. Malam mencekam dengan sambaran petir yang terlihat sejauh mata
memandang. Tanpa ada bintang. Tanpa ada bulan. Malam ini seakan mengabarkan
berita buruk untuk Rendy. Malam dimana Rendy hanya sendiri. Tersakiti. Terluka.
Patah hati. Dengan tetesan air mata yang sedikit demi sedikit membasahi pipi.
Dia seorang lelaki. Apakah lelaki tidak
pantas dan tidak boleh untuk menangis? Tolol!.
Satu per satu
barang Rendy terlempar ke seluruh penjuru ruangan. Barang yang seharusnya
tertata dengan rapi, tapi kini berantakan kembali. Sakit hati yang ia rasakan
lebih dari sambaran petir di kala hujan lebat. Hatinya kini benar-benar
terluka, tertusuk pedang bermata dua yang siap menghujam jantungya untuk berhenti
bernafas. Lebih baik mati daripada hati terus-menerus tersiksa karena cinta.
Persetan dengan cinta! Tolol! Hanya orang bodoh yang terluka saat orang yang ia
cintai ternyata sudah menjadi milik orang lain! Cukup!! Hentikan!!
Detak jantungnya
kian lama kian melemah. Tangan untuk dia melempar, kini layu dan bercucuran
darah. Kaki yang tadinya kuat untuk menopang tubuh Rendy, kini menjadi kayu
lapuk yang rusak , terus tersiksa akan kekejaman hidup.
Semakin
lama..... semakin lama..... matanya kini terpejam. Tanpa sadar dia telah masuk
ke alam bawah sadarnya. “ dimana?. Dimana aku? Dimana!!”, teriaknya meskipun
tak ada orang yang akan mendengar dan mengerti. Kini hatinya telah mati. Mati
karena cinta. Mati karena kekejaman cinta. Cinta yang hanya membawa kebahagiaan
di awalnya saja. Cinta yang hanya membawa angan-angan belaka. Cinta yang
ternyata hanya fantasi hidup untuk membuat seseorang terluka karenanya!
Bullshit!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar